Memahami Nahwu dengan Pendekatan Filsafat 2
Mahbib, NU Online | Senin, 15 Juli 2013 09:00
Bahasa Arab adalah bahasa yang spesial. Sebab, dari beribu-ribu bahasa yang ada, ia terpilih sebagai wadah dari wahyu Tuhan yang terakhir bernama al-Qur’an. Tingkat sastra yang sangat tinggi juga menjadikan bahasa Arab dalam al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar bagi Muhamad.<>
Terpilihnya bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an awalnya memang hak preogratif Tuhan. Namun lebih dari itu, hikmah terpilihnya Arab sebagai bahasa mukjizat adalah karena ia memiliki kualitas yang lebih dibanding bahasa-bahasa lainnya. Selain karena ia kaya kosakata dalam satu kata, juga karena gramatikalnya (Nahwu-Sharaf) memilki nilai intelektual yang luar biasa. Bila dikaji secara radikal (mendalam), setiap tata letak dalam Nahwu memiliki nilai-nilai kehidupan yang luhur dan ini bukanlah kesengajaan linguistik, melainkan sebuah kesengajaan Ilahiyah.
Akan tetapi, nilai-nilai tersebut tidak akan nampak bila tidak dibedah dengan Filsafat. Karena fakta selama ini, penggunaan Nahwu di mayoritas (90%) Pesantren hanyalah alat untuk membaca kitab kuning, tidak lebih. Belum ada pembacaan baru yang lebih segar. Oleh karena itu, perlu diadakan pembacaan baru yang bersifat sinergis. Disinilah urgensi sebuah kalimat “apa jadinya Arab tanpa Yunani”.
Dalam sejarahnya, Pesantren merupakan lembaga pendidikan hasil akulturasi dari budaya Hindu-Budha. Budaya merupakan istilah yang dinamis dan fleksibel sesuai konteks zaman. Namun Pesantren tampil sebagai produk warisan budaya yang statis, khususnya dalam pengembangan wacana intelektualitas.
Kekhawatiran akan tergerusnya Pesantren oleh budaya-budaya lain yang lebih modern pun menjadi relevan sampai Pesantren melakukan sebuah perubahan. Perubahan ini tentu dalam rangka “Hifdzu ad-Din”, dan begitulah esensi dari Istishlah atau Mashlahah Mursalah yang kembalinya juga kepada Maqasid asy-Syar’i. Mempertahankan jati diri itu wajib, namun menerima sesuatu yang baik untuk menuju masa depan yang lebih baik juga sebuah kewajiban, Neo-Pesantren.
Tulisan ini adalah sambungan dari tulisan lalu dengan judul yang sama, sebagai bentuk konskuensi kontinuitas atas wacana Pesantren yang telah penulis buka dan diharapkan akan teraktualiasasi, sehingga tidak hanya menjadi gumpalan ide tak berguna. Kritik dan saran atas semua ini sangat diperlukan untuk membangun wajah intelektual Pesantren baru yang lebih maju.
* Legimitasi Syar’i *
Pada pembahasan sebelumnya sudah dijelaskan, Filsafat Nahwu terbagi menjadi tiga. Yaitu Filsafat Isim (Theologi), Filsafat Fi’il (Kosmologi) dan Filsafat Huruf (Antropologi). Namun sebelum dilanjutkan, ada permasalahan tentang Filsafat Isim (Theologi) yang harus diselesaikan. Pasalnya, dalam Pesantren, ketika istilah Filsafat dan rasionalitas ini disandarkan kepada Tuhan atau hal-hal yang bersifat transenden, adalah hal yang dinilai membahayakan akidah. Jika dari awal Filsafat sudah mendapatkan label “haram” dari Pesantren, maka sampai kapanpun Filsafat akan dijauhi oleh para santri.
Biasanya, dalil pengharaman Filsafat Isim adalah sebuah hadits, “Tafakkaruu fi khalqillah wa la tatafakkaruu fillah” (Berfikirlah tentang ciptaan Allah, dan jangan berfikir tentang Allah). Secara kontekstual, hadits tersebut memiliki objek khusus, hadits ini diucapkan Nabi kepada nenek-nenek yang bertanya kepada Nabi tentang “bagaiamana Tuhan itu?”. Karena yang bertanya adalah seorang tua renta, maka Nabi melarangnya untuk memfikirkan Allah dan hanya menganjurkanya melihat ciptaan-Nya. Jika saja yang bertanya adalah kalangan yang masih memiliki daya nalar tinggi, maka jawaban Nabi mungkin akan berbeda. Jadi hadits tersebut memiliki objek yang khusus dan tidak tepat diterapkan secara universal.
Argumen diatas bisa diterima, sebab, memang Nabi sering menjawab dengan melihat konteks. Hal ini bisa dilihat dalam literatur hadits lain. Dalam studi hadits, kita akan menemukan pertanyaan sama namun dengan jawaban yang berbeda. Misalnya “Ayyul a’mal afdlol?”, pertanyaan ini ada banyak sekali dalam hadits, namun jawaban yang diberikan Nabi berbeda-beda. Jawaban tersebut ada “as-Shalah ‘ala waqtiha” namun ada juga jawaban “Jihad fi sabilillah” dan lain sebagainya. Perbedaan jawaban Nabi tersebut tentu melihat perbedaan konteks yang ada. Jadi, Nabi tidak pernah secara mutlak dan eksplisit melarang ummatnya memfilsafatkankan Tuhan. Karena pada dasarnya adalah Al-Ashlu fi al-Asyya’ al-Ibahah hatta yadulla ‘ala at-Tahrim. (Hukum asal segala sesuatu itu boleh, sampai ada sesuatu yang mengharamkanya).
Larangan memfilsafati Tuhan, tersirat makna “tidak ada gunanya”, karena akal manusia tentu tidak bisa menjangkaunya. Namun Filsafat Isim bukan yang demikian. Filsafat jenis ini mencoba membuktikan eksistensi Tuhan lewat rasionalitas Nahwu. Istilah “pembuktian” bukan berarti tidak percaya, namun hanya istilah untuk “meracik” iman yang lebih “sedap” dan mantap. Jadi, ini bukan sebuah upaya untuk mengimajinasikan bentuk Tuhan. Jika Filsafat Isim disini dipahami upaya “Tajsim”, maka dari awal hukumnya adalah mustahil. Karena, Tuhan di mata manusia (termasuk Nabi) adalah dzat yang abstrak dan tidak bisa dirasionalkan.
Definsi kecil dari Filsafat sendiri adalah berfikir radikal (mendalam) secara sistematik sehingga melahirkan jawaban yang benar. Jika Filsafat merambah pembahasan jisim Tuhan, maka namanya bukan Filsafat, tapi Ngawurisme. Sebab, tidak ada tendensi apapun di dunia ini yang sistematik untuk mengungkapkan jisim Tuhan. Sedangkan Filsafat Isim adalah Filsafat Islami, tentu akan bermuara kepada al-Qur’an dan as-Sunnah (Laisa kamitslihi syai’).
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Filsafat adalah sebagian dari iman. Iman adalah At-Tashdiq bi al-Qalbi (pembenaran dalam hati). Tiap manusia memiliki kualitas iman yang berbeda, perbedaan itu disebabkan dari perbedaan proses tiap individu dalam memperoleh iman itu sendiri.
Proses tersebut beragam. Pertama, iman yang terbentuk dari kebudayaan (Nasab/Taqlid). Kedua, terbentuknya iman karena empiris, baik karena proses pencarian dalam belajar (Naqly) atau melalui perjalanan kontemplasi spiritual, seperti yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim.
Iman yang paling lemah adalah dari proses Nasabiyah atau Taqlidiyah. Sebab, jika definisi iman adalah pembenaran hati, maka iman Nasabiyah dan Taqlidiyah sangat jauh dari ideal definisi iman. Istilah agama warisan mungkin ada, tapi tidak untuk “iman warisan”. Para pendiri Madzhab “resmi” Aswaja pun menyatakan ketidakbolehan taklid buta, apalagi dalam konteks iman kepada Tuhan.
Sedangkan kualitas iman yang lebih tinggi adalah hasil dari proses pencarian dalam belajar (Naqly) yang didukung oleh renungan Spiritual yang rasional (Filsafat). Jadi, memfilsafati Tuhan berguna untuk membentuk “pembenaran hati” yang benar-benar “benar” terhadap Tuhan. Oleh karena itu, sah-sah saja bila Filsafat dianggap sebagai Jembatan menuju dunia Sufi dalam tangga iman tertinggi.
Dari kisah Nabi Ibrahim seharusnya bisa diambil hikmahnya, atau dari kisah Aristoteles (Filsuf Yunani) yang menemukan eksistensi Tuhan dengan Filsafat meski dengan nama “Prima Kausa”. Hanya saja Tuhan para Nabi dengan Tuhan para Filsuf itu berbeda. Tuhan para Nabi mewajibkan diri untuk disembah dan memberlakukan “undang-undang” kehidupan dan hal tersebut tidak berlaku kepada Tuhannya para Filsuf.
Meskipun berbeda, Ibrahim-Aristo jangan dianggap sebuah garis oposisi yang tidak bisa disatukan, namun harus dianggap sebagai koalisi Theologi-Filsafat dalam rangka menciptakan peradaban baru. Sebab, peradaban yang baik terbentuk dari kepercayaan yang baik, dan kepercayaan yang baik adalah yang dasar-dasarnya baik. Dan sebaik-baiknya dasar kepercayaan adalah koalisi Arab-Yunani.
Filsafat adalah sesuatu yang wajib diinternalisasikan ke dalam Pesantren. Karena ia adalah hal yang baik dan tidak menghilangkan jati diri dari Pesantren itu sendiri, demi wajah yang baru, segar dan berkarakter. al-Muhafadzotu ‘ala qadimi al-Shalih wal akhdu bi al-Jadidi al-Ashlah. Hanya saja objek yang digunakan adalah Nahwu. Ya, melahirkan satu lagi cabang ilmu Arab adalah keniscayaan, meski ini wacana dalam konteks keindonesiaan.
* Bukan Sekedar Mimpi *
Dulu saya dan teman-teman santri selalu membanggakan keemasan periode klasik dengan segala pencapaiannya, dan kami selalu mengkritik umat islam periode post modern yang pasif dan tidak mampu bersaing dengan peradaban Barat yang sebenarnya capaianya berkat peradaban Islam klasik. Kini penulis sadar, bahwa kritikan itu adalah omong kosong sampai kami mampu untuk mencapai peradaban yang setara atau yang melampaui zamannya.
Disini kita berbicara masa depan Pesantren. Membincangkan masa depan tersirat usaha menciptakan kondisi yang lebih baik dari masa sekarang dan masa lalu. Namun, membahas masa depan tidak akan lepas dari masa lalu dan sekarang, sebab, ketiga masa itu adalah sebuah kausalitas ruang-waktu dan sebab-akibat yang tidak akan terputus. Karena tidak mungkin ada masa sekarang tanpa adanya masa lalu dan mustahil ada masa depan tanpa ada masa sekarang.
Saat ini penulis sadar betul, ketika dulu kami menyatakan diri sebagai Fans fanatik al-Ghazali sang Hujjatul Islami, namun kami tidak pernah mau menjadi sepertinya dan hanya bernaung dibawah kebesaran namanya. Sejatinya al-Ghazali bukan hanya seorang Sufi, tapi jauh sebelum itu ia adalah seorang Filsuf yang melampaui zamannya. Dalam kisahnya, Filsafatlah yang memproses al-Ghazali sampai akhirnya ia menggeluti dunia ketasawwufan. Dan hal ini berlaku juga terhadap capaian pada masa Dinasti Abbasyiah.
Sebenarnya, men-status-kan diri sebagai fans al-Ghazali bukanlah hal yang sepenuhnya baik. Karena Idealnya, al-Ghazali harusnya dianggap sebagai “Rival intelektual” yang harus dilampaui dan bukan hanya diidolakan atau dipuja saja. Tapi ini sulit, karena bagaimana mungkin bisa melampaui al-Ghazali? Jika menjadi setara denganya saja tidak bisa? Bagaimana mungkin bisa menjadi setara, berproses sepertinya saja tidak mau dan tidak mampu?
Jika saja paradigma Pesantren yang identik dengan “Fans” ini diganti dengan “Rival”, maka diperkirakan akan lahir Ghazali-Ghazali kecil yang mampu menciptakan peradaban setingkat atau bertingkat-tingkat lebih tinggi dari zaman al-Ghazali sendiri. Pesantren harus bisa menjadi wadah representasi dari semangat al-Hanifiyah al-Samhah (semangat mencari kebenaran yang ideal).
Nah, pada dasarnya materi pembangunan masa depan adalah dengan batu-bata hikmah masa lalu. Jika pencapaian Islam klasik adalah dengan Filsafat, maka Islam post modern harus dibangun dengan Filsafat pula, untuk menjadi peradaban yang setara dan sebagai langkah awal untuk melampaui zamannya. Santri boleh saja bersarung, berbaju koko, berpeci dan bersiwak, namun isi otak harus tetap berkarakter dan penuh kebijaksanaan (Filsafat). Pesantren harus di-Mu’rob-kan, agar ia bisa selalu dinamis saat berbagai ‘aamil masuk kedalamnya.
Bismillah, wujudkan revolusi. Wallahu Yaf’alu Ma Yurid, Wannasu Yad’u Ma Tasya’.
* Alumni Ponpes al-Anwar Sarang; Mahasiswa Tafsir-Hadits UIN Walisongo Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar